Jumat, 15 Januari 2010

Indahnya Cinta Sejati
Kasih Sejati dari Pinggiran Sukabumi


"…Rinduilah Tuhanmu melebihi rindumu pada kekasih lain
kasihilah Tuhanmu melebihi kasihmu pada kekasih lain
karena kekasih lain akan meninggalkanmu
atau kau tinggalkan
sedangkan Tuhan adalah yang kita tuju….."

Aku tidak tahu, apakah untaian kalimat indah itu sekarang masih terukir di dinding lusuh mesjid itu, ataukah tidak. Aku juga malah tidak tahu, apakah mesjidnya itu masih ada, ataukah tidak. Yang kutahu pasti cuma satu ; kandungan makna kalimat itu begitu terpatri dalam lubuk sanubari, hingga kini.

Secara tidak disengaja, aku membacanya, pada suatu hari, kira-kira awal Desember 1994 – kala itu aku masih siswa kelas 2 MAN I Kota Sukabumi – di dinding mesjid Rindu Alam, kampung kecil di daerah Nyalindung, 10 km selatan kota Sukabumi. Aku, yang mampir ke sana bersama puluhan kawan usai bermain bola, hanya memelototi deretan kalimat itu, kata perkata, tanpa pikiran macam-macam. Sedikit pun tak terbayang dalam benak kala itu, bahwa suatu hari nanti, kalimat indah itu akan begitu kurenungkan makna dan kandungannya. Tak terbetik sedikit pun dalam anganku, bahwa suatu kali nanti, aku akan mengalami kisah sebagaimana dikandung dalam makna kata-kata puitis itu.

Kini, setelah hampir sepuluh tahun berlalu, kalimat itu seakan terngiang-ngiang di telinga, terbayang-bayang di kelopak mata. Peureum kadeuleu beunta karasa, kata orang Sunda. Untaian makna yang terkandung didalamnya, tak lagi basa-basi, tetapi begitu menghujam, meresap dalam relung sanubari. Betapa cinta seorang manusia biasa, akan terbatas ruang dan waktu. Klaim kasih sayang seorang insan, suatu saat akan terbentur sekat-sekat materi. Ekspresi cinta, hanya bisa terungkap tatkala sang kekasih ada di depan mata. Selain itu, tidak. Bantuan peralatan teknologi komunikasi sekalipun, yang dengannya dunia serasa segenggam, takkan mampu hadirkan kekasih yang jauh, secara utuh. Kekasih selain Tuhan, memang tak bisa dihadirkan setiap saat.

Dan Rindu Alam, lokasi mesjid itu berada, hanyalah desa kecil yang tidak terkenal di pinggiran selatan kota Sukabumi. Ia bukanlah Cisaat, kota kecamatan yang dipadati pondok pesantren tradisional. Rindu Alam juga bukan Ciputat, kota kecil yang selalu ramai dengan diskusi agama kaum modernis. Rindu Alam hanyalah sebuah desa, yang didalamnya ada sebuah pondok kecil, tempat para pencari cinta ilahi bersemedi.

Beberapa saat setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden RI, Rindu Alam pernah menjadi perhatian publik, setidaknya bagi orang Sukabumi. Harian Pikiran Rakyat (PR), koran terkemuka di Bandung, menampilkan profil desa kecil itu, dalam beberapa edisi, pada penghujung tahun 2000. Pasalnya, Gus Dur mengunjungi pesantren kecil dan mesjid lusuh itu, beberapa hari setelah dilantik sebagai presiden. Masih menurut PR, Gus Dur juga pernah mengunjungi mesjid kecil itu secara diam-diam, beberapa minggu sebelum terpilih sebagai presiden.

Sepintas lalu, tak ada yang istimewa dengan mesjid itu. Ia hanyalah bangunan tua bercat putih, tembok semi permanen, dikelilingi kolam ikan yang tak terlalu lebar. Sebagaimana kebanyakan mesjid-mesjid tradisional di lingkungan pesantren. Kampung Rindu Alam yang dihuni oleh seratusan jiwa, terletak di sebuah lereng bukit hijau, dengan pepohonan yang rindang. Rumah-rumah berjajar rapi, menempel pada dinding-dinding bukit. Dan di lembah bukit itulah, mesjid Rindu Alam berada.

Saat aku tiba siang itu, suasana sunyi, senyap, nyaris tak ada suara. Tak ada kehidupan. Dari balik jendela, mataku menyapu seluruh perumahan yang mengelilingi mesjid itu. "Mereka semua, ada dalam rumah",ujar Effendi, kawan sekelasku, yang juga warga Rindu Alam. Ia tinggal di sana sejak 4 tahun terakhir. Bersama puluhan anak usia sekolah lainnya, Efendi menggantungkan kehidupannya pada Abah Didi, sang pimpinan pondok, yang diyakini sebagai seorang wali.

Abah Didi. Aku tidak tahu nama asli atau nama lengkapnya. Yang jelas, bukan Didi Permana. Menurut cerita orang-orang Rindu Alam, Abah Didi adalah seorang yang diyakini memiliki keistimewaan. "Abah mah lain jalma biasa", kata Efendi lagi. Seluruh warga Rindu Alam, hidup atas biaya Abah. Efendi hanyalah satu diantara puluhan anak sekolah yang dibiayai oleh Abah. Kalau mau, bisa sampai universitas. "Dengan syarat, harus mengabdikan diri pada pesantren ", kata Efendi lagi. Begitu juga dengan puluhan keluarga lainnya, yang hidup mengabdi pada pondok dan mengelola tanah pertanian-juga perkebunan - milik Abah. Diantara aturan lainnya, seorang santri harus menikah dengan sesama warga Rindu Alam.

Aktifitas harian warga, juga tak ada yang istimewa. Kegiatan pengajian diasuh oleh beberapa ustad muda, anak buah Abah. Begitu juga Madrasah Diniyah bagi anak-anak. Kelompok ini juga tidak memiliki ritual berupa wirid-wirid khusus yang lazimnya menjadi ciri khas gerakan tasawuf tertentu, sebagaimana dzikirnya Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) Suryalaya Tasikmalaya itu.

Figur sentral komunitas ini memang ada pada Abah Didi. Semua orang meyakini bahwa dia seorang wali yang memiliki karomah tertentu. Dalam usia yang menjelang senja, Abah Didi tetap melajang. Ia tidak bisa ditemui setiap hari. Aktifitas hariannya apa, pergi kemana, tidak ada yang tahu secara pasti. Kendati ia memiliki sebuah padepokan kecil di tengah hijaunya alam, sekitar 200-an meter dari mesjid. "Yang jelas, beliau selalu ada di sekitar tempat ini", ujar seorang pegawai resmi Yayasan Rindu Alam. Terkadang, Abah muncul pada siang hari Jumat, setelah itu, raib lagi. Tak jarang, tamu-tamu datang dan menginap berhari-hari, tapi Abah tak muncul-muncul. Sebaliknya, bisa saja seorang tamu yang baru tiba, langsung disambut oleh Abah sejak dipintu gerbang. Seolah Abah tahu kehadiran dia. Dalam kepercayaan orang-orang tarekat, itu pertanda baik bagi yang bersangkutan.

Dan karena Abah Didi-lah, Gus Dur datang ke tempat ini. Konon, Abah Didi adalah salah satu - yang masih ada saat ini - diantara beberapa murid terdekat Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur. Wartawan Pikiran Rakyat menulis, antara Gus Dur dan Abah Didi, selalu terjalin hubungan kontak jarak jauh, yang dalam tradisi sufi, bukanlah sesuatu yang mustahil. Tentu saja itu hanya terjadi pada orang-orang yang telah mencapai maqamat tertentu. Hingga konon, komunikasi ghaib itu tetap terjalin hingga beberapa saat sebelum Gus Dur melenggang ke istana.

Terdorong rasa penasaran, pada awal Juni 2001, aku kembali ke Rindu Alam. Kebetulan ada seorang kawan mahasiswa asal Jombang –kampung kelahiran Gus Dur –berniat silaturahmi ke Abah Didi, yang minta ditemani.

Rindu Alam tahun 2001, sejauh yang kulihat, berbeda dengan Rindu Alam tujuh tahun sebelumnya. Sejak dikunjungi Gus Dur, Rindu Alam tiba-tiba menjadi perhatian. Orang-orang berdatangan, dengan berbagai tujuan. Sejak silaturahmi biasa, hingga memohon bantuan doa ingin memperoleh kekayaan. Di sebuah lokasi baru –sekitar 2 km dari padepokan lama – Rindu Alam membangun madrasah, perumahan, serta pondok pesantren. Juga berbagai fasilitas pendukung dengan peralatan mutakhir. Kawasan ini dinamakan Rindu Alam II. Nama resmi yayasannya adalah Al Mas'udiyyah. Oya, tentu saja semua ini dibiayai oleh Abah Didi.

Sedangkan Rindu Alam I, lokasi mesjid lusuh itu, masih seperti dulu. Mesjidnya masih yang itu-itu juga, pemukiman warga sekitarnya juga masih seperti sediakala. Sepi, senyap, seperti tak ada kehidupan. Menurut cerita seorang kawan, tak ada televisi, radio, apalagi internet. Entah kalau telepon.

Saat aku masuk mesjid itu untuk yang kedua kali, tulisan itu juga masih terpampang rapi. Usang memang. Warna kertasnya memudar. Pucat pasi. Tetapi aku tak menemukan keusangan sedikitpun dalam makna yang dihadirkan oleh kalimat itu. Getar jiwaku, malah terasa makin menghebat, tatkala untaian kata demi kata itu kubaca lagi.

Desember 1994, saat kubaca pertama kali, kalimat itu berlalu tanpa makna. Sedikit pun. Juni 2001, saat aku ke sana lagi, kalimatnya sama, tetapi maknanya berbeda. Jauh lebih dalam. Meminjam istilah Dhani Ahmad dalam Separuh Nafas-nya, ragam makna tergali, dari sini.

Dan kini, Maret 2004, kendati aku tak lagi bisa kesana, untaian kalimat itu tetap terpatri dalam sanubari. Sederet liku kehidupan dan cinta yang pernah kujalani, telah membukakan mata hatiku, akan kebenaran makna kalimat itu. Bagi para arjuna pencari cinta, ketahuilah, di muka bumi ini, tak ada yang namaya kasih sejati.

Ilahi, Anta Maqhsudi wa Ridhaka Mathlubi, A'thini Mahabbataka wa Ma'rifataka.

Pinggiran Nil, dinihari 17 Maret 2004

* Kupersembahkan tulisan ringan ini, untuk seseorang yang selalu kukenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar